3 Penyebab Rentetan
Konflik PSHT dengan IKSPI Kera Sakti di Jawa Timur
3 Penyebab Rentetan
Konflik PSHT dengan IKSPI Kera Sakti di Jawa Timur. (Photo by Charlein Gracia
on Unsplash)
Jawa Timur menjadi
rumah bagi banyak perguruan pencak silat. Dua di antaranya yakni PSHT dan IKSPI
Kera Sakti yang sama-sama lahir di Madiun. Keduanya juga terlibat rentetan
konflik di berbagai wilayah Jawa Timur.
Dua perguruan dengan
corak berbeda ini sudah eksis sejak lama. Cikal bakal PSHT berawal dari sosok
pendekar bernama Ki Ageng Ngabehi Soerodiwirjo. Melansir dari laman SHTerate,
lelaki kelahiran 1876 ini pernah mendirikan perkumpulan perkumpulan Sedulur
Tunggal Kecer dengan pencak silat bernama Joyo Gendelo Tjipto Muljo.
Ki Ageng Ngabehi
Soerodiwirjo mendirikan perguruan bernama Persaudaraan Setia Hati (PSH) di desa
Winongo pada 1917. Penamaan “Persaudaraan” bertujuan memperkuat hubungan antar
warga PSH.
PSHT sempat
menggunakan nama Setia Hati Pemuda Sport Club (SH PSC). Pendirinya yakni Ki
Hadjar Hardjo Oetomo yang juga terkenal sebagai seorang tokoh perintis
kemerdekaan. SH PSC berdiri sekitar 1922.
Selanjutnya, penamaan
PSHT lahir di era kepemimpinan RM Soetomo Mangkoedjojo. Tepatnya pada kongres
pertama tahun 1948.
Sementara itu, Ikatan
Keluarga Silat Putra Indonesia (IKSPI) Kera Sakti baru lahir 15 Januari 1980 di
Kota Madiun. Sosok pencetusnya yakni lelaki bernama Raden Totong Kiemdarto.
Orang di perguruan ini menyebutnya sebagai Guru Besar.
Perguruan ini punya
karakter jurus yang kental nuansa Kungfu. Salah satu alasannya, Guru Besar
sejak kecil dititipkan ke saudara ibunya yang bernama Raden Mas Sentardi.
“Raden Mas Sentardi
itu punya seorang istri keturunan Tionghoa bernama Oi Kiem Lian Niu,” terang
Ketua Umum IKSPI Kera Sakti, Bambang Nurjana pada video profil perguruan di
kanal YouTube Balaekor.
Rentetan konflik
Pada perjalanannya,
PSHT dan Kera Sakti kerap terlibat pertikaian di jalan. Pada 5 Maret 2023,
oknum anggota dua kelompok tersebut terlibat bentrok di Jalan Raya Ngawi-Cepu,
Karangtengah Prandon, Ngawi.
Kapolres Ngawi AKBP
Dwiasi Wiyatputra mengungkap bentrokan terjadi dini hari ketika rombongan
pesilat Kera Sakti pulang dari Padepokan Caruban, Madiun. Mereka pulang usai
mengikuti acara pengesahan anggota baru.
“Jadi kejadian itu
terjadi saat rombongan pesilat IKSPI dengan puluhan sepeda motor pulang dari
padepokan di Caruban, Madiun,” kata Dwiasi melansir Detik.
Sebelumnya, dua oknum
anggota dua perguruan ini juga terlibat konflik di Jember. Tiga anggota Kera
Sakti mengalami penganiayaan oleh warga PSHT di Lapangan Andongsari, Ambulu,
Kember.
Menurut Ketua IKSPI
Kera Sakti Ranting Tempurejo Wasita Hadi Susanto kejadian itu terjadi karena
kesalahpahaman saat saling sapa. Sapaan itu dianggap menyinggung warga PSHT
sehingga penganiayaa terjadi.
Sehari berselang
setelah mendapat laporan dari korban, Polsek Ambulu langsung mengamankan ketiga
pelaku. “Senin malam kita tangkap ketiga pelaku tanpa ada perlawanan,” tutur
Kapolsek Ambulu AKP M Sudariyanto melansir dari Suara.
Penyebab konflik
PSHT dan IKSPI
Dua kejadian itu
menjadi contoh rentetan konflik antar dua perguruan di Jawa Timur ini. Terdapat
beberapa penelitian tentang akar perseteruan berkepanjangan ini. Salah satunya
penelitian oleh Muhammad Zakaria berjudul Studi Tentang Konflik Antar PSHT dan
IKSPI-Kera Sakti di Desa Sumuragung Kabupaten Bojonegoro yang terbit di Jurnal
Kolaborasi Resolusi Konflik Universitas Padjajaran.
Pada studi kasus di
Desa Sumuragung, peneliti menyebut bahwa konflik perguruan silat menyebabkan
kerugial material bahkan korban jiwa. Ia juga meneliti beberapa faktor penyebab
rentetan pertikaian tersebut.
Pertama, konflik kerap
timbul saat anggota kedua pihak bertemu dengan kondisi menggunakan atribut
perguruan. Latar belakang konflik kerap berlandaskan permasalahan pribadi.
“Diawali permasalahan
pribadi dan mengatasnamakan perguruan, sehingga bukan atas kewenangan perguruan
silat,” tulis Zakaria.
Selanjutnya, ia
menilai penyebab konflik di des aitu lantaran banyak anggota yang masih berusia
15-18 tahun. Pada usia itu mereka sudah sah menjadi warga atau anggota.
“Anggota silat yang
masih muda menggunakan emosional dan sifat tempramental untuk menyelesaikan
suatu masalah,” terangnya.
Ketiga, permasalahan
antarpribadi itu lantas menyulut lebih banyak massa karena sifat persaudaraan
yang kental di perguruan. Ia beranggapan ada penyalahguaan ajaran yang
dimanfaatkan untuk kepentingan individu. Penyalahgunaan semacam ini terjadi
karena minimnya pendidikan karakter.
Berbagai cara
dilakukan untuk menghindari konflik antar perguruan pencak silat di Jawa Timur.
Salah satunya dengan menggelar temu antar perguruan dalam payung paguyuban.
Pertemuan semacam itu
salah satunya sudah rutin digelar di Tulungagung. Polres Tulungagung menggelar
acara bersama Paguyunan Pencak Silat se-Kabupaten Tulungagung untuk menjaga
harmoni dan kondusivitas. Di beberapa daerah di Jawa Timur lain, acara semacam
ini juga sudah rutin terlaksana.
Komentar
Posting Komentar